Tuesday, 17 July 2012

When You Divorce Me, Carry Me Out in Your Arms (Bag. 1)


Pada hari pernikahanku, aku membopong istriku. Mobil pengantin berhenti didepan flat kami yg cuma berkamar satu. Sahabat-sahabatku menyuruhku untuk membopongnya begitu keluar dari mobil. Jadi kubopong ia memasuki rumah kami. Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang pengantin pria yg sangat bahagia. Ini adalah kejadian 10 tahun yg lalu.

Hari-hari selanjutnya berlalu demikian simpel seperti secangkir air bening. Kami mempunyai seorang anak, saya terjun ke dunia usaha dan berusaha untuk menghasilkan banyak uang. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih diantara kami pun semakin surut. Ia adalah pegawai sipil. Setiap pagi kami berangkat kerja bersama-sama dan sampai dirumah juga pada waktu yg bersamaan. Anak kami sedang belajar di luar negeri. Perkimpoian kami kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah dipengaruhi oleh perubahan yg tidak kusangka-sangka, Dew hadir dalam kehidupanku.

Waktu itu adalah hari yg cerah. Aku berdiri di balkon dengan Dew yg sedang merangkulku. Hatiku sekali lagi terbenam dalam aliran cintanya. Ini adalah apartemen yg kubelikan untuknya.

Dew berkata, “Kamu adalah jenis pria terbaik yg menarik para gadis.” Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku pernah berkata, “Pria sepertimu, begitu sukses, akan menjadi sangat menarik bagi para gadis.” Berpikir tentang ini, Aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu kalau aku telah menghianati istriku. Tapi aku tidak sanggup menghentikannya.

Aku melepaskan tangan Dew dan berkata, “Kamu harus pergi membeli beberapa perabot, O.K.?.Aku ada sedikit urusan dikantor”. Kelihatan ia jadi tidak senang karena aku telah berjanji menemaninya. Pada saat tersebut, ide perceraian menjadi semakin jelas dipikiranku walaupun kelihatan tidak mungkin.

Bagaimanapun, aku merasa sangat sulit untuk membicarakan hal ini pada istriku. Walau bagaimanapun ku jelaskan, ia pasti akan sangat terluka. Sejujurnya ia adalah seorang istri yg baik. Setiap malam ia sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk santai didepan TV. Makan malam segera tersedia. Lalu kami akan menonton TV sama-sama. Atau aku akan menghidupkan komputer, membayangkan tubuh Dew. Ini adalah hiburan bagiku.

Suatu hari aku berbicara dalam guyon, “Seandainya kita bercerai, apa yg akan kau lakukan? ” Ia menatap padaku selama beberapa detik tanpa bersuara. Kenyataannya ia percaya bahwa perceraian adalah sesuatu yg sangat jauh dari dirinya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan menghadapi kenyataan jika tahu bahwa aku serius.

Ketika istriku mengunjungi kantorku, Dew baru saja keluar dari ruanganku. Hampir seluruh staff menatap istriku dengan mata penuh simpati dan berusaha untuk menyembunyikan segala sesuatu selama berbicara dengannya. Dia kelihatan sedikit curiga. Dia berusaha tersenyum pada bawahan-bawahanku. Tapi aku membaca ada kelukaan di matanya.

Sekali lagi, Dew berkata padaku,”He Ning, ceraikan ia, O.K.? Lalu kita akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak boleh ragu-ragu lagi. Ketika malam itu istriku menyiapkan makan malam, aku memegang tangannya. “Ada sesuatu yg harus kukatakan”.

Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara. Sekali lagi aku melihat ada luka dimatanya. Tiba-tiba aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu kalau aku terus berpikir. “Aku ingin bercerai”, ku ungkapkan topik ini dengan serius tapi tenang.

Ia seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku,tapi ia bertanya secara lembut,”kenapa?” “Aku serius.”Aku menghindari pertanyaannya. Jawaban ini membuat ia sangat marah. Ia melemparkan sumpit dan berteriak kepadaku, “Kamu bukan laki-laki!”.

Pada malam itu, kami sekali saling membisu. Ia sedang menangis. Aku tahu kalau ia ingin tahu apa yg telah terjadi dengan perkimpoian kami. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yg memuaskan sebab hatiku telah dibawa pergi oleh Dew.

Dengan perasaan yg amat bersalah, aku menuliskan surai perceraian dimana istriku memperoleh rumah, mobil dan 30% saham dari perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa bagian. Aku merasakan sakit dalam hati. Wanita yg telah 10 tahun hidup bersamaku sekarang menjadi seorang yg asing dalam hidupku. Tapi aku tidak bisa menarik kembali apa yg telah kuucapkan.

Akhirnya ia menangis dengan keras didepanku, dimana hal tersebut tidak pernah kulihat sebelumnya. Bagiku, tangisannya merupakan suatu pembebasan untukku. Ide perceraian telah menghantuiku dalam beberapa minggu ini dan sekarang sungguh-sungguh telah terjadi.

Pada larut malam, aku kembali ke rumah setelah menemui klienku. Aku melihat ia sedang menulis sesuatu. Karena capek aku segera ketiduran. Ketika aku terbangun tengah malam, aku melihat ia masih menulis. Aku tertidur kembali. Ia menuliskan syarat-syarat dari perceraiannya : ia tidak menginginkan apapun dariku, tapi aku harus memberikan waktu sebulan sebelum menceraikannya, dan dalam waktu sebulan itu kami harus hidup bersama seperti biasanya. Alasannya sangat sederhana : Anak kami akan segera menyelesaikan pendidikannya dan liburannya adalah sebulan lagi dan ia tidak ingin anak kami melihat kehancuran rumah tangga kami.

Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya,” He Ning, apakah kamu masih ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari pernikahan kita? Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiyakan. “Kamu membopongku dilenganmu”, katanya, “jadi aku punya sebuah permintaan, yaitu kamu akan tetap membopongku pada waktu perceraian kita. Dari sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi kamu harus membopongku keluar dari kamar tidur ke pintu.” Aku menerima dengan senyum. Aku tahu ia merindukan beberapa kenangan indah yg telah berlalu dan berharap perkimpoiannya diakhiri dengan suasana romantis.

0 comments:

Post a Comment