
Di tengah kesibukan luar biasa itu,
seorang pertapa menghadap raja dan berkata, “Wahai Paduka. Mengapa
Paduka mengorbankan sekian banyak kulit sapi untuk melapisi jalan
tersebut, padahal yang Paduka perlukan hanya dua potong kulit sapi untuk
sepatu yang berfungsi melapisi telapak kaki Paduka?”
———
Ah, cerita klasik di atas mengingatkanku
betapa seringnya aku menuntut dunia agar berubah sesuai dengan
keinginanku, demi kenyamananku dan harapanku. Padahal, dengan sedikit
perubahan pada diriku sendiri, aku sebenarnya sudah bisa mengatasi itu
semua.
Aku ingat betul, bagaimana dulu aku
sering berusaha membuat orang-orang di sekitarku agar mengagumi – atau
setidaknya suka dengan aku. Aku berusaha keras untuk itu karena aku
yakin semua itu bisa mendatangkan kesuksesan. Tetapi ada sebuah titik
nadir yang membuat aku sadar, bahwa aku tidak bisa memaksa setiap orang
untuk menyukai aku.
Kenapa aku harus berjuang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak dapat aku rubah?
Bukankah lebih baik menata diri dan
komposisi tubuh ini agar selalu tumbuh dinamis – seiring dengan keadaan
dan perubahan di sekitarku?
Seperti sulur-sulur tumbuhan rambat yang
merayap mengikuti bentuk tembok.. tetapi mampu menghancurkannya..
Seperti lumut yang tumbuh naik turun mengikuti tekstur batu, tetapi
sangat berpotensi untuk membuatnya rapuh.. Seperti awan yang selalu
bergerak mengikuti angin, tetapi mampu menjadi hujan dan cuaca yang
justru memutarbalikkan arah angin itu sendiri.. semoga.. ^^
0 comments:
Post a Comment